Kehidupan seseorang di dunia ini dimulai dengan dilahirkan-nya
seseorang dari rahim ibunya. Kemudian setelah ia hidup beberapa lama,
iapun akan menemui sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari, kenyataan
sebuah kematian yang akan menjemput-nya. Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ
فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap jiwa akan merasakan kematian dan sesungguhnya pada hari
kiamatlah akan disempurnakan pahalamu, barangsiapa yang dijauhkan dari
neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung
dan kehidupan dunia hanyalah kehidupan yang memperdaya-kan”. [
Ali-Imran: 185 ].
Kematian pasti akan berlaku, baik atas anak kecil mau pun orang tua,
laki-laki mau pun perempuan, manusia merdeka maupun budak sahaya,
pemimpin mau pun rakyat. Ia tidak akan permisi dengan mengetuk pintu
terlebih dahulu dan tidak memandang tabir pembatas. Tidak menerima
pengganti dan mengambil penjamin. Tega walau pun kepada anak kecil,
tidak segan dengan orang tua.
Betapa banyak raja yang kerajaannya dirampas oleh kematian di atas
singgasananya. Setelah itu si raja berkata, “Duh, seandainya aku dulu
hanyalah seorang tukang roti yang membuatkan roti untuk manusia. Duh
seandainya aku dulu hanyalah seorang tukang cuci atau tukang kayu. Duh,
seandainya aku hanya dimintai tanggung jawab hanya tentang diri dan
keluargaku saja dan tidak dimintai pertanggung jawaban tentang urusan
orang banyak.”
Betapa banya para pemuda yang tertipu oleh masa mudanya dan terbuai
oleh angan-angannya. Lalu ia lbih sibuk menuruti hawa nafsunya dan
begitu percaya diri dengan kekuatan dirinya sendiri. Kemudian ia hanya
bisa berkata, “Duhai betapa sayangnya hari-hari yang telah lewat. Duh
seandainya dulu aku menjaga masa mudaku, kugunakan kekuatanku
sebaik-baiknya dan diriku selalu merasa diawasi robbku. Duh seandainya
aku dulu bisa mengalahkan hawa nafsuku dan lebih kukedepankan akal
sehatku daripada dorongan syahwat dan kelalaianku. Duh seandainya aku
dulu menggunakan Islam sebagai cahaya untuk menyeberangi kegelapan. Duha
seandaianya dulu aku mentaati Alloh dan Rosul. Duh seandainya aku dulu
tidak mengangkat syetan dan teman-teman jahat sebagai sahabat dekat.”
Betapa banyak orang kaya mengatakan, “Duh, seandainya hartaku dulu secukupnya saja dan kuhasilkan dari pencaharian yang halal.”
Begitulah, ketika kematian tiba maka penyesalan dan keluhan-keluhan
keluar dari orang-orang yang suka berbuat dosa. Sebaliknya, sunggingan
senyum nampak pada wajah orang-orang yang senantiasa taat kepada Alloh,
berbagai kemuliaan muncul dari diri mereka dan derajat mereka pun
ditinggikan.
Cukuplah kematian sebagai nasehat, cukuplah kematian menjadi-kan hati
bersedih, cukuplah kematian menjadikan air mata berlinang. Perpisahan
dengan saudara tercinta. Penghalang segala kenikmatan dan pemutus segala
cita-cita. Marilah kita tanyakan kepada diri kita sendiri, kapan kita
akan mati ? Di mana kita akan mati?
Rasulullah sallalhu alaihi wasallam memerintahkan kita untuk memperbanyak mengingat mati sebagaimana sabdanya ;
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).”
(HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no. 1824, Ibnu Majah no. 4258.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Hasan
shahih.”).
Sungguh, hanya orang-orang cerdas cendikialah yang banyak mengingat
mati dan menyiapkan bekal untuk mati. Shahabat yang mulia, putra dari
shahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma
mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia
mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
berkata, ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau
menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’
‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ
“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya
untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.”
(HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
dalam Ash-Shahihah no. 1384)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa
yang banyak mengingat mati, ia akan dimuliakan dengan tiga perkara :
bersegera untuk bertaubat, hati merasa cukup, dan giat dalam beribadah.
Sebaliknya, siapa yang melupakan mati ia akan dihukum dengan tiga
perkara: menunda taubat, tidak ridha dengan perasaan cukup dan malas
dalam beribadah. Maka berpikirlah, wahai orang yang tertipu, yang merasa
tidak akan dijemput kematian, tidak akan merasa sekaratnya, kepayahan,
dan kepahitannya. Cukuplah kematian sebagai pengetuk hati, membuat mata
menangis, memupus kelezatan dan menuntaskan angan-angan. Apakah engkau,
wahai anak Adam, mau memikirkan dan membayangkan datangnya hari
kematianmu dan perpindahanmu dari tempat hidupmu yang sekarang?”
(At-Tadzkirah, hal. 9)
Tips mengingat kematian
Jika mengingat kematian adalah sesutau yang mulia dan diperintahkan oleh
Islam, maka mengusahakannya menjadi sesuatu yang penting pula. Ada
banyak cara dan kiat untuk membuat kita selalu ingat mati. Beberapa di
antaranya :
Pertama, berusaha sekuat tenanga untuk mengingat kematian yang
menimpa orang lain, entah itu saudara, keluarga, atau siapa saja di
antara manusia yang telah mendahului kita. Misalnya, saat kita berjalan
kemudian berpapasan dengan rombongan yang memanggul keranda jenazah, di
saat itulah kita berusaha mengingat kematian.
Atau saat tetangga kanan-kiri kita ada yang meninggal, kita juga
berusaha mengingat kematian dengan mengatakan dalam diri kita, “Hari ini
tetanggaku telah meninggal, mungkin esok, lusa, atau beberapa hari lagi
aku yang akan dipanggil oleh Allah Ta’ala.”
Hal demikian jika kita lakukan dengan sungguh-sungguh, akan membuat
kita terhindar dari pembicaraan yang tidak berguna kala bertakziah
kepada keluarga yang ditinggal mati kerabatnya seperti yang sering kita
perhatikan atau bahkan kita sendiri melakukannya.
Padahal Rasulullah sallallahu alaihi wasallam pernah menegur beberapa
orang yang berbicara tanpa guna. Beliau mengatakan, “Andaikata kalian
banyak mengingat ‘pemotong kenikmatan’ niscaya kalian tidak banyak
berbicara seperti ini, perbanyaklah mengingat ‘pemotong kenikmatan’.
(HR. Turmudzi (2648))
Kedua, setelah kita mengingat kematian itu sendiri, cobalah kita
membayangkan bagaimana sepi dan sunyinya alam kubur itu, tidak ada yang
menemani di hari-hari yang dilalui. Suami atau istri yang paling cinta
sekalipun tidak ada yang sanggup menemani jika kita telah wafat,
terkubur dalam tumpukan debu dan tanah.
Diceritakan dari Abu Bakar Al-Isma`ili dengan sanandnya dari Usman bin
Affan, bahwa apabila mendengar cerita neraka, ia tidak menangis. Bila
mendengar cerita kiamat, ia tidak menangis. Namun, apabila mendengar
cerita kubur, ia menangis.
“Mengapa demikian, wahai Amirul Mukminin,” tanya seseorang kepada
beliau. Usman menjawab, “Apabila aku berada di neraka, aku tinggal
bersama orang lain, pada hari kiamat aku bersama orang lain, namun bila
aku berada di kubur, aku hanya seorang diri.” (Syeikh Muhammad bin Abu
Bakar Al-`Ushfuri, Syarh Al-Mawaa`idz Al-`Ushfuuriyyah, Jakarta: Dar
Al-Kutub Al-Islamiyah, hal. 28)
Kesendirian dan sepi senyapnya alam kubur dapat berubah menjadi
kebahagiaan atau kesengsaraan, tergantung amal kita selama hidup di
dunia. Kuburan dapat menjadi lumbung kebahagiaan atau menjadi sumber
siksa dan sengsara. “Kubur itu bisa merupakan salah satu kebun surga
atau salah satu parit neraka,” sabda Nabi sallallahu alaihi wasallam.
(HR. Turmudzi (2460))
Hal ini bisa didapatkan dengangan mendengarkan ceramah-ceramah
tentang kematian serta menghadiri majlis-majlis ta’lim sehingga hati
kita senantiasa dekat dengan Allah Ta’ala dan tidak tertipu dengan
kehidupan dunia.
Ketiga, termasuk hal sangat dianjurkan dalam upaya kita mengingat
mati adalah berziarah ke kubur. Ziarah kubur merupakah perkara yang
disunnahkan dan sangat direkomendasikan oleh rasulullah sallallahu
alaihi wasallam.
Lewat kegiatan ziarah, kita mengambil pelajaran dan hikmah tentang
keadaan alam kubur, dan apa yang terjadi di dalamnya, serta kehidupan
yang akan dilewati usai dari alam kubur nantinya.
Dalam sebuah hadits, nabi berpesan, “Aku pernah melarang kalian untuk
berziarah kubur, namun sekarang berziaralah sebab ia dapat mengingatkan
akan kehidupan akhirat dan menjauhi kemewahan dunia.” (HR. Muslim (977))
Marilah kita mencoba merenungi sisa-sisa umur kita, muhasabah pada
diri kita masing- masing. Tentang masa muda kita, untuk apa kita
pergunakan. Apakah untuk melaksanakan taat kepada Allah ataukah hanya
bermain-main saja ? Tentang harta kita, dari mana kita peroleh, halalkah
ia atau haram ? Dan untuk apa kita belanjakan, apakah untuk bersedekah
ataukah hanya untuk berfoya-foya? Dan terus kita muhasabah terhadap diri
kita dari hari-hari yang telah kita lalui.
Perlu kita ingat, umur kita semakin berkurang. Kematian pasti akan
menjemput kita. Dosa terus bertambah. Lakukanlah taubat sebelum ajal
menjemput kita. Waktu yang telah berlalu tidak akan kembali lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar